Laporan terbaru dari Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang menyoroti keterlambatan signifikan dalam adopsi teknologi AI generatif di negara tersebut. Dari sudut pandang teknologi, keterlambatan ini dapat berdampak pada kemampuan Jepang untuk bersaing secara global. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa hanya 26,7% individu di Jepang yang telah menggunakan AI generatif, meskipun meningkat dari tahun sebelumnya, angka ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya seperti China (81,2%) dan Amerika Serikat (68,8%).
Kesenjangan ini bukan hanya masalah teknologi, tetapi juga mencerminkan tantangan sosial dan infrastruktur. Misalnya, lambatnya adopsi sistem tanpa uang tunai dan penggunaan teknologi usang yang berkelanjutan. Sentimen ini menyoroti tantangan budaya dan infrastruktur yang dihadapi Jepang dalam merangkul AI generatif. Para ahli menyarankan agar Jepang berinvestasi dalam pendidikan dan infrastruktur AI, serta mempromosikan kesadaran publik dan mendorong budaya yang merangkul inovasi teknologi.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa 44,7% pengguna AI di Jepang berusia 20-an, dan 49,7% bekerja di sektor bisnis. Ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang mulai menyadari nilai AI. Namun, kurangnya adopsi yang lebih luas, terutama di kalangan anak muda dan di sektor lain, dapat membatasi dampak ekonomi dari AI. Pemerintah Jepang harus menerapkan kebijakan yang mendorong adopsi AI di semua sektor, termasuk insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi AI dan program pelatihan bagi pekerja.
Selain itu, resistensi budaya dan infrastruktur yang ketinggalan zaman juga merupakan hambatan tambahan. Mengatasi hambatan ini sangat penting agar Jepang dapat sepenuhnya memanfaatkan potensi ekonomi AI. Modernisasi infrastruktur teknologi dan promosi budaya yang merangkul inovasi adalah langkah penting untuk mengamankan masa depan ekonomi Jepang di era AI.